Selasa, 30 Januari 2018

Cahaya Dikala Redup




Sebuah perantara selalu diciptakan untuk menyampaikan suatu amanah dari dua insan yang tidak bisa bertemu, atau mungkin bisa bertemu namun tak bisa berucap, dan bisa jadi bisa bertemu dan berucap namun tak berani memulai percakapan. Lalu bagaimana bila seseorang mengalami hal tersebut? Bukankah sesuatu yang dipendam selalu ingin disampaikan, walaupun tidak langsung kepada sosok yang dimaksud? 

Lalu bagaimana dengan doa? Doa yang mungkin tak pernah lupa dipanjatkan disetiap sujudnya. Apakah suatu saat akan tersampaikan? Ataukah hanya sebagai penenang hati ketika saat itu? Atau bagaimana? Ahhh akupun tak tahu. Yang kutahu aku selalu senang ketika menyebutnya dalam do’aku. Ber-angan tentang kebahagiaan “kita” yang selalu aku rancang sendiri, dan dia hanya menjadi sosok pasif yang selalu menjadi ilusi dalam anganku. 

Kata Ibu, normal ketika perempuan tujuhbelas merasa ada perasaan “berbeda” kepada lawan jenis. Entah berbeda dalam sudut pandang mana, yang kutahu aku tak berani menyebutnya Cinta. Kata Ibu juga, memang fitrahnya manusia diberi rasa cinta, tapi tinggal bagaimana ia menyikapinya. Lalu dengan cara apa rasa itu bisa tetap menjadi rasa terbaik tanpa melanggar aturan-Nya?
Aku tak ingin memikirkan masalah ini. Tapi bagaimanapun cara terbaiknya, setiap perempuan pasti punya cara sendiri untuk mengekspresikan rasa tersebut. Ada yang memilih untuk mengungkapkan, dan ada pula yang memilih untuk menyimpan rapi hal tersebut. 
 
Aku selalu bahagia ketika melihat sosok lelaki yang punya tempat istimewa dihatiku ini. Lelaki yang tanpa ia sadari telah membuatku menjadi wanita yang lebih baik. Walaupun tak pernah ada kalimat lebih apapun yang ia ucapkan padaku. Dan aku menyebutnya Cahaya Dikala Redupku.
Dan itu yang membuat dia semakin istimewa untukku. Semakin hari semakin istimewa.

Dan semoga dengan ke-diam-an ku selama ini, dengan do’a-do’a yang selalu aku panjatkan untuknya, akan menuntunnya menuju jalan pulang yang seharusnya. Entah rumah mana yang akan dia singgahi kelak, semoga sosok wanita itulah tulang rusuk yang selama ini dia cari. Walaupun bukan aku orangnya.

*Cerita hanya fiktif belaka, bukan sesuatu yang dialami Penulis*
Avany Mahmudah

4 komentar: