Sabtu, 31 Agustus 2019

Menjadi Bagian Mimpi

Aku ingat betul bagaimana sembilan Agustus menjadi saksi atas sebuah perjuangan. Bagaimana kamu secara tidak langsung memintaku untuk datang ke tempat dimana kamu akan dilepas pergi mendekati mimpi. Dimana hari itu seakan-akan mentari ikut mempersilahkanmu untuk melangkah menggapai mimpi. Dan untuk pertama kali aku menjadi perempuan terbahagia karena sudah diizinkan mengenal keluargamu dengan ketidaksengajaan. Terik Surabaya siang itu menjadi saksi bahwa ada perempuan yang sedang bersedih untuk sebuah kepergian.

Bersama orang tua dan keluargamu, aku mengantarkanmu ke gerbang ksatriaan. Semoga suatu saat tetap aku yang mendampingi segala keluh dan perjalanan panjangmu itu. Dan semoga empat tahun lagi tetap aku yang akan mengantarkanmu keluar gerbang ksatriaan menuju gerbang kehidupan yang lebih penuh tantangan. Namun tenang saja kita kan menghadapi tantangan-tantangan itu bersama, berdua. Aku yang tak akan meninggalkanmu walau hanya sekejap, dan kamu yang akan selalu ditemani oleh wanita sekeras aku dalam berjalan.

Setelah kepergianmu itu, aku menjadi wanita yang setiap hari cemas menunggu kabarmu. Tidak ada alat komunikasi yang kamu bawa. Dan sungguh itu sangat menyiksa hariku. Dua minggu berlalu dan tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh pesan singkat darimu. Dan setelah itu hampir setiap hari kamu dan aku saling berbagi kabar melalui percakapan singkat. Aku yang selalu antusias mendengar cerita kehidupanmu di asrama itu. Dan kamu yang selalu mengelak tatkala aku bilang rindu. Ah nampaknya terlalu indah untuk diceritakan.

Malam tigapuluh satu Agustus didalam kereta, percakapan singkat yang sangat menyentuh hati. Malam dimana keesokan hari adalah hari yang sangat menentukan. Pengumuman atas kerja kerasmu selama ini. Kamu memintaku memberikan kabar pengumuman esok kepada orang tuamu, dan aku yang membercandaimu bahwa aku kan mengenalkan diri sebagai calon menantu dari orang tuamu. Kamupun menertawai seperti biasa.

Malam itu, kamu dan aku saling memohon kepada sang Pencipta. Di waktu yang sama, namun ditempat dan keadaan yang berbeda. Merendahkan diri dihadapan Sang Kuasa, menyatukan doa yang sama. Aamiin paling serius.

Tigapuluh satu Agustus. Hari yang dinanti dengan penuh cemas. Sejak pagi aku sudah memantau sosial media dan web resmi itu. Namun belum saja ada kabar. Berjam jam aku menunggu dan mendoa sepanjang waktu. Dan sekitar pukul satu siang aku dikejutkan dengan pengumuman itu. Cepat-cepat aku membuka dan mencari namamu. Beku. Sungguh beku. Namamu terpajang dipengumuman itu sebagai salah satu CAPRA IPDN 2019 dari Jawa Timur. Alhamdulillah, MasyaAllah. Tak berhenti aku mengucapan syukur. Tangis sudah tak bisa diredam. Apresiasi luar biasa atas keberhasilanmu ini.

Mari kita melanjutkan mimpi besar ini. Aku dengan mimpiku, dan kamu dengan mimpimu. Kita kan selalu seperti ini, mendoa dan berjuang sepenuh hati. Dan sungguh, pada akhirnya mimpi terbesarku adalah menjadi bagian dari mimpimu. Dan pasti, aku selalu melibatkan kamu dalam setiap mimpiku.

Selasa, 13 Agustus 2019

Tentang Sebuah Keyakinan


Ini tentang keyakinan tentang kegoisan dan tentang ketidakberdayaan. Biarlah waktu yang menjawab. Kita berjalan semampu kita bisa.



Tiga tahun bukanlah waktu singkat untuk memperjuangkan rasa, menepis goda, mempertahankan ego dan keyakinan. Ini adalah sebuah keyakinan besar dimana harapan tertuju pada satu titik yang tak bisa digantikan dengan apapun. Namun keyakinan ini terlalu besar bila hanya dikalahkan oleh rasa sakit. Bertahan dalam kediaman adalah menyakitkan. Namun aku suka bila itu tentangmu.

Tiga tahun yang penuh liku. Hanya sapa dan tak ada obrolan. Kita sama sama diam. Entah aku yang pemalu atau memang kamu tidak peka. Selalu terngiang bahwa kamu terlalu baik untuk aku yang begini. Namun sungguh keyakinan dan rasa ini terlalu besar. Dan demi sebuah keegoisan untuk bersama, aku rela menunggu walau tanpa temu.

Dan tiga tahun rasanya terbayar sempurna dengan obrolan itu. Dan masih terngiang untuk pertama kali kita beradu cakap lewat telepon dini hari sebelum keberangkatanmu merantau. Diskusi tentang mimpi, harapan, dan sebuah komitmen.

Kita berdiskusi tentang harapan setelah lulus pendidikan. Kamu yang tak menginginkan pendamping hidupmu bekerja, dan aku yang kekeh untuk berkarya walau didalam rumah. Katamu wanita lebih baik dirumah saja, mengajar anak-anak mengaji, menjadi madrasah pertama dikehidupan anak-anak. Kataku, aku ingin berproses selama di ibukota ini. Aku ingin menjadi wanita seperti hakikat wanita sebenarnya. Namun tetap saja tak semua visi misi kita sama. Ada beberapa poin yang membedakan kita. Namun selalu saja aku meyakinkan diriku bahwa untuk bersama tak harus sama.

Dan masih teringat kamu dan aku berjanji akan berproses sebaik kita bisa. Menjadi wanita dan lelaki terbaik dalam porsi kita masing-masing. Kataku aku berjuang untukmu dan sampai waktu yang menjawab semua. Kita berjanji tak akan pernah menyesali pertemuan ini, perkenalan ini. Biarkan rasa ini yang menjadi saksi bahwa pernah ada seorang perempuan yang telah memperjuangkanmu sekeras ini.

Selagi kita mampu, mari berproses mari memperbaiki diri. Entah suatu saat kita kan bersama ataupun tidak. Namun semampuku kan berjuang demi keyakinan itu. Kita hanya terpaut jarak, tak masalah. Katamu, doa kan saja bila aku rindu. Kataku, aku selalu mendiskusikanmu dengan Sang Pencipta.

Aku ingat betul malam itu kamu berusaha menghiburku yang tengah bersedih karena melepasmu. Beratus kilometer dari tempatku berpijak. Dan tanpa media untuk komunikasi. Memang berat. Dan sungguh betapa tangis mengalir tatkala kamu memintaku menyanyikan sebuah lagu untukmu.

"Pergilah kasih kejarlah keinginanmu, selagi masih ada waktu. Jangan hiraukan diriku. Aku rela berpisah demi untuk dirimu. Semoga tercapai segala keinginanmu." 

Air mata tumpah begitu saja. Mengalir begitu hebatnya. Malam itu, dengan alunan lagu Pergilah Kasih, Hanya Rindu, dan Cinta Luar Biasa.

Kepada tatap dan rasa itu semoga ada cahaya yang mengantar pada segala angan malam itu dengan berjuta harap tentang kebersamaan dan atas mimpi yang telah dirancang semoga kamu dan aku mampu berproses untuk satu cita kita.
 keyakinan tentang kegoisan dan tentang ketidakberdayaan. Biarlah waktu yang menjawab. Kita berjalan semampu kita bisa.