Jumat, 16 November 2018

Antara Kamu dan Keraguanku


Aku ingin sekali lagi mengenangmu dalam tulisan. Namun kali ini nampaknya ada keraguan dalam diri ketika kata demi kata mulai tertulis. Nampaknya aku ingin mengadukan banyak tentangmu, namun pada dirimu sendiri. Apa kau bersedia melanjutkan membaca tulisanku kali ini? Antara kamu, dan keraguanku.

Terkadang hati ingin berontak. Ketika hati dan logika sudah tak sejalan lagi. Beribu tanya menghantui, apakah kali ini waktu yang tepat untuk mengikhlaskan? Lalu siapa yang akan memastikan bahwa kamu terjaga dan baik-baik saja? Apakah ia yang kini tengah mengisi harimu bersedia menjadi penghibur kala dukamu? Apakah ia mampu menerangi gelapmu?

Aku tak berjanji kan selamanya ada disini. Namun untuk saat ini dan entah sampai kapan, selama aku masih mampu, aku kan tetap disini. Percayalah. Percayalah kau tak pernah sendiri. Percayalah aku masih disini dengan rasa yang utuh, tak berkurang sama sekali.

Akulah pundak dan tangan yang selalu siap menopangmu. Akulah hati yang dengan tulus mencurahkan doa terbaik untukmu. Akulah kaki yang kan bejalan mendampingi perjalananmu. Mari berjalan menggapai segala cita dan cinta. Walau pada akhirnya aku berjalan untukmu, dan kamu berjalan untuknya. Aku tak pedulu. Karena ketulusanku terlalu besar bila harus dikalahkan dengan egoku.

Terkadang logika memaksa untuk melepas. Namun hati selalu memintanya bersabar. Hati percaya bahwa kesabaran kan berujung indah. Penantian kan berujung pertemuan. Namun bukankah hati berjanji kan menunggu tanpa berharap kebersamaan?

Kuminta kau tuk menguatkanku satu kali ini saja. Yakinkan aku bahwa aku miliki hati yang luas untuk menerima segala kenyataan. Yakinkan aku bahwa kau orang yang tepat kunanti. Atau yakinkah aku bahwa kau tengah berbahagia dengannya. Yakinkan aku bahwa kau tak membutuhkanku. Yakinkan aku bahwa ia yang terbaik menurutmu.



Dari aku, dengan luka

Kamis, 08 November 2018

Antara Hujan dan Kamu


Ada yang berbeda dari hujan kali ini. Hujan kedua dikota kecil penuh kenang. Ya aku menyebutnya kota kecil penuh kenang. Begitu banyak cerita yang bisa tercipta di kota ini. Banyak kisah romansa menyertai disetiap sudut kota. Tidak hanya romansa, tapi kehangatan bersama keluarga dan sahabat pun tercipta disini.

Rintik hujan kali ini berbeda. Seakan-akan memaksaku untuk mengenang sesuatu. Bahkan untuk mensyukuri segala nikmat yang telah tercipta. Termasuk mensyukuri adanya kamu disini, dihati. Entah sejak kapan aku menyukai hujan. Selayaknya aku menyukai kamu. Ah tapi tetap saja berbeda. Aku lebih menyukaimu. Tapi lebih suka lagi ketika hujan, bersama kamu. Lengkap.

Kata orang, hujan adalah kenangan. Namun kataku, hujan adalah saat yang tepat untuk menciptakan kenang. Kau tak percaya? Kemarilah mendekat padaku. Akan kuajak kau menyusuri setiap sudut kota ini. Akan kukenalkan kau kepada keindahan-keindahan yang belum kau ketahui. Akan kuhadirkan sebuah senyum dibibirmu itu. Kemarilah, izinkan aku membuktikan bahwa aku dan rasaku benar-benar nyata.

Apa kau tak ingin berlari-lari ditengah rintik hujan itu? Apa kau tak ingin melihat pelangi di langit yang berkilau itu? Apa kau tak ingin merancang  masa depan bersamaku dibawah mendung itu? Apa kau tak ingin membagikan kisahmu diatas genangan air itu?

Kemarilah ceritakan segala asa padaku. Kemarilah ceritakan kemarahanmu. Aku berani menjamin bahwa akulah yang paling setia mendengar setiap amarahmu. Aku akan menjadi orang yang selalu ada dalam setiap langkahmu. Yakinlah kamu tak sendiri. Ada aku yang akan disini menanti.

Jika kamu rindu, temui aku disetiap tulisanku. Tapi kau tak akan menemukan aku. Kau hanya akan menemukan sosokmu dalam ceritaku. Karena tulisanku berarti kamu.

Dari aku, yang sedang berbahagia karena senyummu malam ini.

Minggu, 04 November 2018

Cahaya Kini Redup

Dulu aku menyebutnya cahaya dikala redup, namun kini cahaya nya kian menghilang. Aku tak bisa menemukan cahaya nya dikala redupku.
Ada yang berbeda dari sinarnya. Nampaknya kini sinarnya kian menghilang.

Pancaran mata yang dulu selalu melukiskan kehangatan, sekarang berubah menjadi kesunyian. Aku tak bisa menangkap pancaran cahaya nya kembali. Nampaknya di tatapan itu mengisahkan kisah lain pada dirinya. Mungkin ia tetap bersinar, namun sinarnya tidak tertuju untukku.

Ah apalah daya seorang wanita yang hampir dua tahun menghabiskan masa putih abu-abunya untuk mencintai cahaya itu.
Bagi wanita itu, tak ada yang lebih sempurna dari senyum yang menghiasi bibir cahaya nya. Bagi wanita itu pula, tak ada yang lebih indah dari pertemuan setelah sholat dhuha di depan masjid sekolah. Bagaimapun wujud pertemuan itu, baginya cahaya selalu mengesankan. Walaupun setiap pertemuan dihiasi oleh tatapan malu dan rasa ingin berlari untuk sembunyi.

Dia lah lelaki dengan pancaran cahaya yang semakin kusut. Dia lah lelaki yang selalu dibanggakan oleh wanita bernama aku. Dia lah lelaki dengan sejuta keindahan yang selalu dicintai oleh aku.

Aku tak peduli berapa banyak sakit yang telah dicipta oleh cahaya itu. Yang aku tau cahaya akan selalu bersinar. Cahaya akan selalu menyinari siapapun. Walau bukan aku. Aku yang rela cahaya menyinari hati lain. Aku yang rela cahaya memancarkan keindahan kepada bunga lain. Dan aku yang rela berbagi ketulusan cahaya kepada wanita lain.

Siapun yang bersamamu kini, kuharap kau bisa menuntunnya menjadi lebih baik. Dan tumbuhlah bersamanya. Bertumbuh dan berproses. Nikmati masamu saat ini. Cahaya akan menemukan sinar terbaiknya kembali. Tak usah khawatir, aku selalu mencintai kamu, sang cahaya itu.

-Dari aku, pecinta cahaya-

Sabtu, 03 Februari 2018

Majelis Cinta


Aku menyebutnya majelis cinta. Tempat kembali setiap insan setelah melakukan perjalanan sejauh apapun. Kehangatan yang tak pernah didapatkan ditempat yang lain. Peluk kasih yang tak tertandingi. Doa maha dasyat yang menyertai hidup. Doa yang setiap saat terucap dalam hati, pasti memohon untuk kebahagiaan putra putri terkasihnya. Kasih sayang yang tak akan ada habisnya. Selalu mengalir begitu saja, ikhlas tak terbatas.

Hanya ungkapan kecil dari banyaknya kehangatan yang didapat dari sebuah keluarga. Betapa keluarga mampu menjadi pundak dari setiap jiwa yang lelah. Menjadi peluk sangat hangat dikala butuh tempat mengadu. Selalu memancarkan kebahagiaan.

Mungkin tidak semua orang memahami betapa beruntungnya ketika masih diberi kesempatan untuk berada diantara keluarga. Berbagi cerita, berbagi rasa senang dan duka, bercerita tentang hal-hal konyol yang dilalui dalam sehariannya, bahkan bercerita tentang hal-hal tak penting sekalipun. Betapa Ibu dan Bapak memperhatikan setiap alunan cerita yang terucap dalam bibirku ini. Sungguh antusiasnya mereka mendengar cerita sehari-hariku.

Betapa Bapak selalu mencontohkan sikap spiritual yang baik untuk keluarganya. Bagi Bapak, keluarga akan mencontoh yang dia lakukan, bukan yang dia katakan. Bapak selalu mencontohan hal-hal baik dalam kehidupan, dengan harapan bisa menjadi teladan yang baik untuk keluarga. Bapak juga sering bernostalgia bersama keluarga. Dengan bangga dan dengan raut muka yang nampak ceria, Bapak menceritakan hal-hal yang dialami di masa kecilnya, perjuangan untuk bisa bersekolah, perjuangan berjualan kesana kesini saat masih sekolah, prestasinya dalam basket, bercerita pengalaman-pengalaman ketika awal bekerja, dan apapun hal terbaik dalam hidupnya. Bapak yang selalu marah ketika sholatku tidak berjamaah, ketika aku bolos ngaji, dan ketika aku bermalas-malasan dirumah.

Ibu yang lebih banyak bicara, yang selalu takut ketika aku ada didekat kompor, yang paling khawatir ketika aku belum ada dirumah disaat hujan deras, selalu takut ketika aku belum pulang saat jam sembilan malam, yang selalu panik saat maghrib aku belum pulang dari sekolah, dan alarm paling mujarab dalam hidupku. Ibu yang setiap pagi repot menyiapkan makan pagi untuk keluarga,menyiapkan bekal sekolahku, dan repot membangunkan keluarga dari mimpi indahnya. Sekilas memang terlihat biasa, tapi sungguh hal-hal itu yang akan kurindukan nanti.

Hari demi hari berlalu, dan tanpa kusadari usia mereka bertambah pula. Seakan-akan hari bersama mereka kulalui begitu cepatnya. Semoga Bapak dan Ibu panjang umur. Hal terbaik akan kulakukan untuk kalian. Selamat Ulang Tahun Ibu, Bapak. Terima kasih sudah mendidik kami di Majelis Cinta.... 01.01.2018 dan 23.02.2018

Avany Mahmudah

Selasa, 30 Januari 2018

Cahaya Dikala Redup




Sebuah perantara selalu diciptakan untuk menyampaikan suatu amanah dari dua insan yang tidak bisa bertemu, atau mungkin bisa bertemu namun tak bisa berucap, dan bisa jadi bisa bertemu dan berucap namun tak berani memulai percakapan. Lalu bagaimana bila seseorang mengalami hal tersebut? Bukankah sesuatu yang dipendam selalu ingin disampaikan, walaupun tidak langsung kepada sosok yang dimaksud? 

Lalu bagaimana dengan doa? Doa yang mungkin tak pernah lupa dipanjatkan disetiap sujudnya. Apakah suatu saat akan tersampaikan? Ataukah hanya sebagai penenang hati ketika saat itu? Atau bagaimana? Ahhh akupun tak tahu. Yang kutahu aku selalu senang ketika menyebutnya dalam do’aku. Ber-angan tentang kebahagiaan “kita” yang selalu aku rancang sendiri, dan dia hanya menjadi sosok pasif yang selalu menjadi ilusi dalam anganku. 

Kata Ibu, normal ketika perempuan tujuhbelas merasa ada perasaan “berbeda” kepada lawan jenis. Entah berbeda dalam sudut pandang mana, yang kutahu aku tak berani menyebutnya Cinta. Kata Ibu juga, memang fitrahnya manusia diberi rasa cinta, tapi tinggal bagaimana ia menyikapinya. Lalu dengan cara apa rasa itu bisa tetap menjadi rasa terbaik tanpa melanggar aturan-Nya?
Aku tak ingin memikirkan masalah ini. Tapi bagaimanapun cara terbaiknya, setiap perempuan pasti punya cara sendiri untuk mengekspresikan rasa tersebut. Ada yang memilih untuk mengungkapkan, dan ada pula yang memilih untuk menyimpan rapi hal tersebut. 
 
Aku selalu bahagia ketika melihat sosok lelaki yang punya tempat istimewa dihatiku ini. Lelaki yang tanpa ia sadari telah membuatku menjadi wanita yang lebih baik. Walaupun tak pernah ada kalimat lebih apapun yang ia ucapkan padaku. Dan aku menyebutnya Cahaya Dikala Redupku.
Dan itu yang membuat dia semakin istimewa untukku. Semakin hari semakin istimewa.

Dan semoga dengan ke-diam-an ku selama ini, dengan do’a-do’a yang selalu aku panjatkan untuknya, akan menuntunnya menuju jalan pulang yang seharusnya. Entah rumah mana yang akan dia singgahi kelak, semoga sosok wanita itulah tulang rusuk yang selama ini dia cari. Walaupun bukan aku orangnya.

*Cerita hanya fiktif belaka, bukan sesuatu yang dialami Penulis*
Avany Mahmudah