Minggu, 04 November 2018

Cahaya Kini Redup

Dulu aku menyebutnya cahaya dikala redup, namun kini cahaya nya kian menghilang. Aku tak bisa menemukan cahaya nya dikala redupku.
Ada yang berbeda dari sinarnya. Nampaknya kini sinarnya kian menghilang.

Pancaran mata yang dulu selalu melukiskan kehangatan, sekarang berubah menjadi kesunyian. Aku tak bisa menangkap pancaran cahaya nya kembali. Nampaknya di tatapan itu mengisahkan kisah lain pada dirinya. Mungkin ia tetap bersinar, namun sinarnya tidak tertuju untukku.

Ah apalah daya seorang wanita yang hampir dua tahun menghabiskan masa putih abu-abunya untuk mencintai cahaya itu.
Bagi wanita itu, tak ada yang lebih sempurna dari senyum yang menghiasi bibir cahaya nya. Bagi wanita itu pula, tak ada yang lebih indah dari pertemuan setelah sholat dhuha di depan masjid sekolah. Bagaimapun wujud pertemuan itu, baginya cahaya selalu mengesankan. Walaupun setiap pertemuan dihiasi oleh tatapan malu dan rasa ingin berlari untuk sembunyi.

Dia lah lelaki dengan pancaran cahaya yang semakin kusut. Dia lah lelaki yang selalu dibanggakan oleh wanita bernama aku. Dia lah lelaki dengan sejuta keindahan yang selalu dicintai oleh aku.

Aku tak peduli berapa banyak sakit yang telah dicipta oleh cahaya itu. Yang aku tau cahaya akan selalu bersinar. Cahaya akan selalu menyinari siapapun. Walau bukan aku. Aku yang rela cahaya menyinari hati lain. Aku yang rela cahaya memancarkan keindahan kepada bunga lain. Dan aku yang rela berbagi ketulusan cahaya kepada wanita lain.

Siapun yang bersamamu kini, kuharap kau bisa menuntunnya menjadi lebih baik. Dan tumbuhlah bersamanya. Bertumbuh dan berproses. Nikmati masamu saat ini. Cahaya akan menemukan sinar terbaiknya kembali. Tak usah khawatir, aku selalu mencintai kamu, sang cahaya itu.

-Dari aku, pecinta cahaya-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar